Kamis, 19 Mei 2022
- Kis.15:7-21.
- Mzm. 96:1-2a.2b-3.10.
- Yoh. 15:9-11
MENGASIHI orang yang mengasihi kita adalah tindakan yang sangat mudah kita lakukan.
Namun mengasihi mereka yang berbeda pendapat dengan kita apalagi mereka yang telah menyakiti kita, perlu perjuangan yang tidak ringan.
Sering kita dengar orang berkata, “Aku mengasihi kamu, karena kamu mengasihi aku. Aku akan berbuat baik kepadamu, karena selama ini kamu berbuat baik padaku.”
Dan sebagainya.
“Jangan karena dia pernah baik dengan kamu, lalu semua keinginan dia kamu ikuti,” kata seorang bapak pada anaknya.
“Jika ingin kamu dia tetap menjadi pribadi yang baik, kamu harus berani mengingatkan, jika dia berbuat tidak benar,” sambungnya.
“Saya berhutang budi padanya, mereka yang telah menyelamatkan keluargaku dari badai dan masalah kehidupan kami,” sahut anaknya.
“Mereka memang baik, tetapi menjadi tanggungjawabmu sekarang mendukung mereka tetap baik dan benar. Jika kamu tidak mengingatkan mereka pada saat kamu tahu langkah mereka akan membawa malapetaka, kamu adalah orang yang tidak tahu berterimakasih,” tegas bapak itu.
“Saya merasa daya kritisku hilang berhadapan dengan dia, hingga di mataku semua yang dia katakan dan lakukan baik adanya. Jika ada yang kurang berkenan saya gampang memakluminya,” jawab anak itu.
“Itu sudah menjadi sinyal bahwa kamu tidak lagi melihat dia seperti adanya, sehingga semuanya kelihatan baik,” sahut bapaknya.
“Semua orang punya kelebihan dan kekuranganya sendiri-sendiri. Ketika kamu dikaruniai pengetahuan yang lebih dalam bidang tertentu saatnya kamu berbagi kebaikan itu,” kata bapak itu.
“Iya, saya akan mengingatkan dia, meski mungkin dia marah dan tidak berkenan,” jawabnya.
“Dia mempertaruhkan keutuhan keluarganya dengan relasi yang tidak sehatnya dengan rekan semasa SMA,” gumamnya.
“Kalau bisa secepatnya kamu temui sahabatmu itu, dan bicarakan dengan baik dari hati ke hati,” saran bapaknya.
“Zaman sekarang banyak orang yang mencari kelemahan orang lain demi keuntungan mereka sendiri, orang tidak lagi berpikir tentang persahabatan atau persaudaraan,” imbuh bapaknya.
“Siapa yang lengah akan kalah,” tegas bapaknya.
“Kalau kamu tidak bisa membalas kebaikkan sesamamu dengan harta benda, dengan berkata dan bertindak benar kamu telah membalas kebaikan sesamamu,” tegas bapak itu.
Dalam bacaan Injil hari ini, kita dengar demikian,
“Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu.
Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya.
Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh.”
Kenyataan yang diikuti oleh banyak orang di dunia: mengasihi setelah memperoleh imbalan; memberi setelah menerima. “Take and give“.
Kita baru benar-benar mau mengasihi karena telah menrima banyak kebaikan dan kemuahan hati dari orang lain. Namun pada saat kita tidak menerima kebaikan dari orang lain sikap kita cenderung dingin dan bahkan tidak peduli.
Itulah praktek kasih menurut pola dunia.
Di manakah kita dapat menemukan kasih yang sejati itu? Kasih sejati timbul atau berasal dari sumber kasih itu sendiri yaitu Allah.
Kasih sejati yang dimaksud bukan sekedar luapan emosi, tapi merupakan suatu pribadi.
Jadi kasih itu bukanlah sekedar sifat atau bentuk emosi tertentu dari Allah, tetapi kasih adalah eksistensi Allah itu sendiri yang dinyatakan secara total melalui pengorbanan Yesus Kristus di atas kayu salib, mati untuk menebus dosa kita.
Allah mengasihi kita bahkan pada saat kita masih berdosa. Inilah kasih sejati.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku sungguh mengasihi orang lain atau aku ingin berbuat baik kepada mereka karena merasa berhutang budi?