Misa Seribu Hari Doakan Jo Seda, Syukur atas Iman yang Sempurna (1)

0
870 views
Ny. Jo Seda, isteri almarhum Frans Seda. (Ist)

TEPAT seribu hari setelah Johanna “Jo” Maria Pattinaja Seda meninggal pada 23 Maret 2015, keluarganya menyelenggarakan Misa Seribu Hari untuk mendoakan isteri almarhum Frans Seda ini. Misa ini  berlangsung di Gereja St. Stevanus, Cilandak, Jakarta Selatan, Senin malam (18/12/17).

Misa ini dipersembahkan secara konselebrasi oleh delapan imam dan dipimpin oleh Bapak Uskup KAJ Mgr. Ignatius Suharyo. Tampak gereja dipenuhi para tokoh katolik nasional dan sanak keluarga Seda serta Pattinaja.

Homili disampaikan langsung oleh Mg. Suharyo yang menerangkan makna dari bacaan khusus misa tersebut.

Mgr. Ignatius Suharyo menceritakan,  sebenarnya di sakristi telah disiapkan kasula ungu untuk digunakan para imam. Tetapi Uskup KAJ yang juga  Ketua KWI ini merasa semestinya bukan kasula ungu yang dikenakan,  melainkan warna syukur yaitu putih.

“Kalau dibandingkan dengan 1.000 hari lalu suasana tentu sudah beda. Rasa kehilangan pasti masih ada, tetapi waktu telah membantu kedua puteri yang ditinggalkan untuk mengendapkan pengalaman,” tutur Uskup kelahiran Sedayu, DIY,  9 Juli 1950 ini.

Bacaan istimewa

Mgr. Suharyo mengibaratkan pengalaman tersebut seperti gelas yang diisi air keruh dan dibiarkan diam. Pada waktunya air dalam gelas tersebut akan menjadi jernih.

“Saya tidak tahu siapa yang memilih bacaan misa ini,” dengan gaya khasnya Mgr. Suharyo bertutur kepada umat yang memenuhi barisan bangku di depan altar Gereja Stefanus.

“Bacaannya istimewa. Demikian juga lagunya. Misalnya lagu pembuka yang dipakai adalah lagu yang biasa dilatunkan pada Malam Paskah. Tentunya ini menggambarkan kegembiraan – maka tidak tepat kalau kami mengenakan kasula ungu,” lanjut Uskup yang punya satu saudara kandung menjadi imam dan dua adik kandung lagi menjadi suster.

Secara bergurau, Mgr. Suharyo menyatakan pemilihan warna putih dikarenakan supaya seragam dengan warna atasan yang dikenakan Ery dan Nessa Seda, kedua puteri almarhum Frans dan Jo Seda.

Lebih lanjut Mgr. Suharyo menjelaskan makna dari bacaan Injil Yohanes 5: 19-29  yang merupakan ajakan untuk beriman kepada Yesus. Hal yang tidak tersangkut paut dengan kematian.

Dengan cerdas Mgr. Suharyo mendorong umat untuk mau aktif membaca dengan menunjukkan posisi kata-kata kunci di dalam buku misa. “Lihat halaman 7; alinea kedua, baris keempat dari bawah pada alinea yang sama,” kata Monsinyur.

Umat pun menjadi fokus mengikuti petunjuk detil yang diberikan.

“Sama seperti”

Kata kunci yang dimaksud ahli kitab suci Universitas Urbaniana yang menyelesaikan studi S3 hanya dalam 2.5 tahun ini adalah ‘sama seperti..’.

“Siapa Bapa itu terlalu sulit kita pahami, maka Allah menyatakan diri di dalam Yesus. Kita diajak untuk memahami Yesus sebagai Jalan, Kebenaran, dan Hidup,” urai Mgr. Suharyo yang waktu kecil cita-cita awalnya adalah menjadi polisi.

Apa artinya percaya kepada Yesus? Pertanyaan itu dilontarkan dan dijawab sendiri oleh Mgr. Suharyo yang mengaitkannya dengan Bacaan Pertama: Kitab Wahyu 7:9-17. ‘Supaya pada akhirnya kita boleh mengenakan jubah putih bukan ungu lagi.’

Lalu, bagaimana cara mendapatkan jubah putih lambang syukur itu?

Dengan sungguh mengikuti Yesus dan menjadi martir.

“Menjadi martir bukan sekedar menumpahkan darah, tetapi berarti pribadi yang rela kehilangan hidup,” ulas Uskup yang sejak usia 11 tahun setamat SD masuk ‘seminari kecil’ Mertoyudan ini.

Mgr. Suharyo menyakini Jo Seda adalah ‘martir’ – hidup dengan gembira, tulus dan setia mengikuti jalan Yesus dengan mendampingi Frans Seda dalam segala tantangan kehidupan mereka berkeluarga dan bermasyarakat. Jo Seda telah rela membagikan hidup demi kemuliaan Tuhan dengan menjadi berkat bagi keluarga, masyarakat, Gereja, bangsa, dan negara.

Baca juga:

40 Hari Alm. Ny. Jo Seda, Perwujudan Nyata Iman

“Maka di Misa Seribu Hari ini, kita turut bersyukur bersama Ery dan Nessa yang telah mendapat penghiburan iman dari keluarga dan sahabat untuk merayakan hidup Ibu Jo Seda yang setia menjawab panggilan Tuhan sampai akhir hayatnya,” kata Mgr. Suharyo di ujung homilinya.

Teladan kedisiplinan yang tuntas

Francisia Ery Seda mewakili keluarga menyampaikan terimakasih atas kehadiran para undangan dan memberikan sharing atas teladan hidup ibunya.

Ery menceritakan bagaimana bingungnya dia dan Nessa di awal ibunya meninggal,  karena ibunya yang selalu mempersiapkan segala kebutuhan di rumah dengan begitu rapinya. Setiap mereka pulang mengajar dari kampus, makanan telah tersedia. Maka di hari-hari setelah 23 Maret 2015 itu, mereka sempat kelabakan harus memikirkan menu makanan sehari-hari.

Jo Seda yang dianggap ‘keras’ menanamkan disiplin ‘biara’ di rumah – segala sesuatu sesuai jadwal dan harus rapi – baru disadari makna positif didikan tersebut sekarang.

Selain disiplin dan kerapian, didikan lain yang sangat membekas bagi Ery Seda adalah bagaimana ibunya selalu menekankan pentingnya penghargaan terhadap orang lain. “Jangan mengaku diri orang kristen kalau tidak bisa menghargai orang lain,” ungkap Ery Seda mengenang kalimat yang sering diucapkan ibunya.

Maka sedari kecil mereka dibiasakan untuk memberikan sapaan, menyampaikan terima kasih, dan menyampaikan maaf pada tempatnya dan terhadap siapa pun tanpa memandang derajat sosial orang tersebut. (Berlanjut)

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here