Paska Banjir, Awas Bahaya Leptospiroris

0
751 views
Ilustrasi tentang liptospirosis. (Ist)

BENCANA banjir karena Siklon Tropis Cempaka di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada hari Selasa, 28 November 2017,  sangat memprihatinkan. Bahaya ikutan setelah banjir surut adalah leptospirosis yang mematikan.

Leptospirosis adalah penyakit akibat infeksi bakteri Leptospira sp. yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis).

Apa yang perlu kita waspadai?

Leptospirosis pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Dr. Adolf Weil dengan gejala demam tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. Penyakit dengan gejala tersebut di atas oleh Goldsmith 1887 disebut sebagai Weil’s Disease. Pada tahun 1915, Inada berhasil membuktikan bahwa “Weil’s Disease” disebabkan oleh bakteri Leptospira icterohemorrhagiae.

Pada tahun 2016  yang lalu,  kasus leptospirosis di Indonesia mencapai 343 orang, meninggal  47 orang dan CFR  13,70%.  Sedangkan di DIY,  jumlah kasus 17 orang, meninggal 6 orang, maka CFR sangat tinggi, yaitu 35,29%. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56%. Di beberapa publikasi,  angka kematian dilaporkan antara 3-54% tergantung sistem organ yang terinfeksi.

Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui air (water borne disease). Urin (air kencing) dari individu yang terserang penyakit ini merupakan sumber utama penularan, baik pada manusia maupun pada hewan.

Hujan deras akan membantu penyebaran penyakit ini, terutama di daerah banjir. Kejadian Leptospirosis pada manusia banyak ditemukan pada pekerja pembersih selokan, karena selokan banyak tercemar bakteri Leptospira.

Leptospirosis dapat juga mengenai anak, yang tinggal di lingkungan padat perkotaan dengan banyak tikus rumah yang berkeliaran.

Masa inkubasi

Masa inkubasi Leptospirosis pada manusia yaitu 2-26 hari. Infeksi Leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang tanpa gejala, sehingga sering terjadi kesalahan diagnosis, apalagi pada infeksi subklinis yang ditandai dengan flu ringan sampai berat.

Hampir 40% penderita terpapar infeksi tidak bergejala tetapi pemeriksaan serologis positif. Sekitar 90% penderita akan mengalami kuning ringan, sedangkan 5% kuning berat yang dikenal sebagai penyakit Weil. Perjalanan penyakit Leptospira terdiri dari dua fase, yaitu:

  • Fase septisemik.
  • Fase imun.

Pada periode peralihan fase selama 1-3 hari kondisi penderita mungkin terlihat membaik.

Fase Septisemik

Fase ini dikenal sebagai fase awal atau fase leptospiremik,  karena bakteri dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh. Pada stadium ini, penderita akan mengalami gejala mirip flu selama 4-7 hari, ditandai dengan demam, kedinginan, dan kelemahan otot.

Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, nyeri kepala, takut cahaya, gangguan mental, radang selaput otak (meningitis), serta pembesaran limpa dan hati.

Fase Imun

Ini  sering disebut fase kedua atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari urin, dan mungkin tidak didapatkan lagi dari darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi. Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu seperti selaput otak, hati, mata atau ginjal.

Jika yang diserang adalah selaput otak, maka akan terjadi depresi, kecemasan, dan sakit kepala. Pada pemeriksaan hati didapatkan kulit kuning, pembesaran hati (hepatomegali), dan tanda koagulopati.

  • Gangguan paru-paru berupa batuk, batuk darah, dan sulit bernapas.
  • Gangguan hematologi berupa peradarahan dan pembesaran limpa (splenomegali).
  • Kelainan jantung ditandai gagal jantung atau perikarditis. Meningitis aseptik merupakan manifestasi klinis paling penting pada fase imun.

Sindrom Weil adalah bentuk Leptospirosis berat ditandai kulit dan mata kuning atau jaundis, disfungsi ginjal, nekrosis hati, disfungsi paru-paru, dan diathesis perdarahan. Kondisi ini terjadi pada akhir fase awal dan meningkat pada fase kedua, tetapi bisa memburuk setiap waktu.

Manifestasi paru meliputi batuk, kesulitan bernapas, nyeri dada, batuk darah, dan gagal napas. Penderita dengan kuning berat lebih mudah terkena ghagal ginjal, perdarahan, dan kolaps kardiovaskular. Kasus berat dengan gangguan hati dan ginjal mengakibatkan kematian sebesar 20-40%.

Diagnosa Leptospirosis biasanya dilakukan dengan pemeriksaan serologis. Antibodi dapat ditemukan di dalam darah pada hari ke-5-7 sesudah adanya gejala klinis. Selain pemeriksaan serologis, untuk mengkonfirmasi infeksi Leptospirosis adalah Microscopic agglutination test (MAT).

Kultur atau pengamatan bakteri Leptospira di bawah mikroskop berlatar gelap umumnya tidak sensitif. Selain itu, diagnosa juga dapat dilakukan melalui pengamatan bakteri Leptospira pada spesimen organ yang terinfeksi, dengan menggunakan imunofloresen.

Leptospirosis dapat diobati dengan antibiotik doksisiklin, ampisillin, amoksisillin, eritromisin dan antibiotika yang lebih baru. Namun demikian, keterlambatan pengobatan, kesalahan diagnosis, ataupun terjadinya Sindrom Weil, dapat meningkatkan angka kematian atau CFR (Case Fatality Rate).

Bencana banjir karena Siklon Tropis Cempaka di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) harus diantisipasi sebaik mungkin. Tidak hanya dengan rekonstruksi bangunan paska banjir, tetapi juga peningkatan kewaspadaan akan bahaya leptospirosis.

Sudahkah kita bijak?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here