Artikel Politik: Klepon dan Cemplon

0
390 views
Klepon -- menu penganan tradisional Indonesia by Cookpad

SEPERTI biasa, ketika ayam jantan pun masih malas membuka matanya, apalagi berkokok, ketika embun pagi masih menguasai dedaunan, ketika kabut masih menyelimuti alam raya seisinya, dan matahari masih bermalas-malasan di peraduannya sekalipun sudah bangun, kami sudah duduk bersila di atas tikar yang digelar di pendopo.

Pagi itu, kami semua tidak bisa menahan diam, seperti biasanya. Kami saling beradu pandang, saling bertukar senyum, dan saling mengamit ketika melihat di hadapan kami ada makanan dan minuman. Ini tidak biasa.

Biasanya tidak ada makanan dan minuman. Karena kami berkumpul di pendopo untuk mendengarkan ajaran Guru, bukan untuk makan dan minum.

Ada klepon dan cemplon. Semuanya ditata apik di atas piring-piring kecil di depan kami. Dan, ada minuman panas yang sudah dituang di cangkir-cangkir yang sangat jarang kami gunakan.

Apakah hari ini? Guru ulang tahun? Tetapi, kalau ulang tahun Guru diam-diam saja. Biasanya hanya mengajak kami semua berdoa bersama. Bersyukur.

Belum terjawab pertanyaan kami, Guru sudah datang dan segera duduk di tempat biasanya: di atas batu hitam pipih, berbentuk bulat, tanpa alas.

Guru tersenyum, sambil memandangi kami semua. Lalu berkata:

Kemunafikan masyarakat menggejala dengan adanya gap, jurang antara kata—biasanya kata-katanya indah—dan perbuatan-perbuatan buruk yang sangat bertentangan dengan yang diucapkan dengan teriakan lantang, dengan penuh kesombongan, dengan menganggap dirinya paling benar, paling bersih, dan paling suci.

Kami semua, tidak tahu maksud Guru dengan mengatakan itu. Mengapa Guru mengawali wejangannya dengan kata “kemunafikan.”

Ketika hati kami masih bertanya-tanya, soal klepon, cemplon, dan wedang jahe, Guru sudah melanjutnya piwulang-nya:

Para pejabat publik, sebelum memangku jabatan mengucapkan sumpah jabatan. Sumpah jabatan diucapkan menurut keyakinan agama yang dianut, yang diyakini, yang diimaninya, dengan menumpangkan salah satu tangannya di atas Kitab Suci. Semua itu ada arti dan maksudnya.

Mereka mengawali sumpahnya—sesuai dengan agama masing-masing—dengan  mengatakan, “Demi Allah, saya bersumpah” atau “Demi Tuhan saya berjanji” atau “Om Atah Parama Wisesa”, atau “Demi Sang Hyang Adi Budha.”

Dan, sumpah diakhiri dengan mengucapkan, “Semoga Tuhan menolong saya.”

Sumpah jabatan yang diucapkan merupakan ikrar kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk sedia melayani publik dengan seadil-adilnya, juga bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan Negara, bukan untuk kantongnya sendiri, kelompoknya sendiri, atau partainya sendiri.

Tetapi, untuk kepentingan Negara.

Akan tetapi, perilaku mementingkan diri sendiri dalam berbagai bentuk termasuk korupsi, terus terjadi. Ini suatu kebohongan, yang disebut sebagai locution contra mentem, ucapan yang bertentangan dengan pikiran.

Artinya tidak ada kesesuaian antara verbum oris, yang diucapkan, dan verbum mentis, yang dipikirkan. Apalagi dengan yang diperbuat.

Sungguh bertentangan.

Tentang hal seperti ini, banyak contohnya. Kalian bisa mencari sendiri. Banyak orang melakukan sesuatu perbuatan yang tidak selaras dengan  perkataannya. Ketika seseorang mengatakan pesan-pesan kebaikan kepada orang lain, dirinya sendiri berperilaku sebaliknya.

Maka orang tidak lagi mempercayai kata-katanya. Kata-katanya dianggap pemanis, sekadar gincu, bedak, pencitraan belaka. Karena ketidakselarasan menyebabkan hilangnya kepercayaan. 

Ada yang menyebut hal semacam itu tak ber-akhlaq. Kalian semua tahu bahwa kata akhlaq berasal dari bahasa Arab, yakni jama’ dari khuluqun yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat, tata krama, sopan santun, adab, dan tindakan.

Ilustrasi – Sumpah Janji by ist

Itu berarti, dalam segala hal haruslah menyamakan perkataan dan perbuatan. Dan, termasuk dalam hal rohani. Kita bisa berkoar-koar memiliki iman, tetapi jika gaya atau cara hidup kita tidak mencerminkan apa yang kita katakan, bagaimana mungkin orang bisa percaya?

Dilihat orang, rajin berdoa panjang-panjang. Tetapi  hidup dalam kecemasan, kecurigaan atau kesinisan. Rajin beribadah namun isi perkataan hanyalah iri hati, dengki, kebohongan, kebencian, dan hujatan.

Bukankah kalian semua tahu bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong. Bahkan, mati.

Saya kutipkan pendapatnya Hassan Hanafi dalam bukunya Greg Soetomo, SJ (2018): Iman memiliki dimensi internal (pengetahuan dan perasaan) dan dimensi eksternal (kata dan tindakan). Iman yang matang, menurut Hanafi, adalah kesatuan antara pengetahuan dan perasaan, iman dan tindakan.

Banyak retorika yang sebenarnya hanya merupakan pencitraan (eksternal), dan tidak keluar dari hati dan batin (internal). Kemunafikan masyarakat menggejala dengan adanya gap antara kata (yang indah) dan perbuatan (yang buruk).

Praktik semacam ini membuat manusia stagnan dan mandul, masyarakat menjadi tidak kokoh.

Banyak orang mengira bahwa kata-kata yang keluar bebas dari mulutnya, akan menguap begitu saja, terbang dibawa angin. Salah. Orang masih mengingatnya.

Apalagi zaman sekarang, zaman teknologi canggih ini. Semua terekam. Semua ada jejaknya. Sangat beruntung kalau yang diucapkan itu kata-kata baik.

Tetapi, bagaimana kalau yang diucapkan itu, kata-kata yang tidak baik, yang buruk?

Bukankah sudah diajarkan bahwa setiap kata yang baik, menghasilkan pahala yang baik. Namun, setiap perkataan buruk pasti akan dibalas dengan imbalan yang juga buruk.

Maka itu, setiap perkataan harus dipertanggung-jawabkan. Ketika mulut dan hati tidak mampu seirama, kebohongan terlahir dari dalam jiwa.

Sebab, ada tertulis, Quo mendacium publicum continuatum eo hominis ingenium submersum excitatum, yang artinya kurang lebih, di mana kebohongan publik makin diterus-teruskan, maka di situ pula citra kepribadian seseorang akan semakin terperosok.

Dalam rumusan lain, ajining diri saka lathi, seseorang dapat dihargai itu berdasarkan ucapannya.

Bukankah, kejujuran tidak mengorbankan apa pun, namun kebohongan akan menghabiskan segalanya.

Mohon maaf, Guru, sela seorang murid. Mengapa hari ini tidak seperti biasanya, ada makanan kecil? Ini ada klepon dan cemplon. Bahkan dengan minum sereh dan jahe panas, juga.

Pertanyaan itu tidak membuat Guru marah, meskipun tidak ada hubungannya dengan yang disampaikan Guru pagi itu. Guru malah tersenyum mendengar pertanyaan muridnya itu.

Setelah menyapu wajah-wajah muridnya dengan pandangannya yang teduh, seperti biasanya, yang membuat hati kami semua tentram dan damai, Guru berkata: Kalian semua menduga apa? Apakah kalian menduga bahwa aku hari ini akan menjelaskan soal klepon dan cemplon, kedua jenis makanan tradisional yang enak ini?

Inilah makanan kesukaanku.

Hari ini aku sengaja mau berbagi kesukaan kepada kalian semua. Aku menyukai dua jenis makanan ini: klepon dan cemplon. Setiap kali aku makan entah itu klepon, entah itu cemplon, aku merasa bahagia.

Cemplon – penganan tradisional Indoesia by Cookpad.

Walau makanan sederhana, makanan tradisional, yang sudah ada sejak dahulu kala di zaman nenek-moyang kita semua. Kedua jenis makanan itu, ada filosofinya.

Mengapa di dalamnya ada gula merahnya? Tetapi, aku tidak akan menjelaskan hari ini.

Aku hari ini, merasa harus membagikan kebahagiaan itu kepada kalian semua.

Itu yang terpenting. Bukankah kebahagiaan harus dibagi, dirasakan bersama-sama?

Aku diberi, maka aku memberi. Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.

Komunitas kita, yang kecil ini, adalah komunitas yang berbagi, bukan hanya masalah dunia di luar sana, di luar pagar rumah kita ini. Tidak.

Kita sebagai satu keluarga harus juga saling berbagi. Kita sebagai satu masyarakat, satu bangsa, harus berbagi. Kita berbagi bukan karena kita kasihan kepada orang lain, tetapi memang dilandasi oleh semangat kepedulian, compassion.

Itulah spiritualitas kita.

Kalian perlu catat dalam hati dan pikiranmu bahwa kita berbagi bukan karena kita berkelebihan. Bukan! Ada kata-kata indah yang bisa  kalian ingat, Nemo dat quod non habet, tidak seorang pun yang memberi dari apa yang tidak dimilikinya.

Artinya, kalau kita tidak mempunyai barang, harta benda, uang, ya kita tidak bisa memberikan semua itu. Tetapi, kalau yang kita miliki adalah kebahagiaan, suka cita, maka kita kebahagiaan dan suka cita itu.

Itulah harga paling berharga yang kita miliki. Dan, bagikanlah kepada orang lain.

Memberi adalah bentuk nyata dari cinta yang universal, cinta yang memberi tanpa pamrih. Berikan semampu kita, berikan dengan ikhlas, dengan hati terbuka, dengan sukacita

Jadi kalau hari ini, kalian semua ikut menikmati makanan kesukaanku—klepon dan cemplon—aku hanya ingin berbagi kesukaan, kebahagiaan, tidak kunikmati sendiri. Itu saja. Jangan memikir yang bukan-bukan.

Sudah terlalu banyak orang atau kelompok di sekitar kita yang tidak hanya berpikir, berpendapat yang bukan-bukan, bahkan sudah terlalu banyak pula yang melakukan yang bukan-bukan, tidak masuk akal, ora tinemu nalar, sak karepe dewe.

Mari kita nikmati, klepon dan cemplon serta wedang sereh dan jahe ini, mumpung masih panas.

Begitu Guru selesai mengatakan hal itu, tangan kami buru-buru meraih klepon, lalu cemplon, dan akhirnya cangkir berisi wedang sereh dan jahe…

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here